Thursday 7 May 2015

The Difficulties of Asking for Help: An Only Child's Perspective

Wow, it's been quite a while since I wrote anything! Banyak banget yang mau ditulis sampai saya bingung mau mulai dari mana hehehe

Kali ini saya ngga nulis tentang update persiapan pernikahan kami, tapi post tentang itu akan menyusul secepatnya, apalagi karna sekitar 2 minggu yang lalu kami ngadain engagement party  di rumah saya, jadi sambil nunggu hasil foto-foto dan video dari tim Simax Communication Bogor (Dika, dkk), posting-nya menyusul ya :) 

Sekarang ini saya mau agak-agak curhat dan berbagi sedikit tentang hal yang akhir-akhir ini saya pikirin. Sesuatu yang sangat normal, tapi bagi saya adalah hal yang cukup sulit: MINTA TOLONG. Buat saya, aspek yang sulit dari minta tolong bukan dari proses ngomong minta tolongnya itu sendiri, tapi lebih ke percaya bahwa pihak yang saya mintain tolong itu bakal make everything works well the way I want it to be

Sounds weird? I completely understand if it is

Saya lahir sebagai anak tunggal. Orang tua saya sebenernya pengen banget punya banyak anak, tapi emang Tuhan udah menentukan bahwa anak mereka cuma satu, yaitu saya. Sebagai anak tunggal, saya dididik untuk lebih mandiri dan ngga bergantung sama siapapun. Dan orang tua saya (menurut saya) "terbebani" dengan label negatif tentang anak tunggal, kayak manja, ngga bisa apa-apa, tergantung sama orang lain, dll. Didikan yang agak keras membuat saya jadi orang yang agak "badak" dan sejauh ini, saya rasa being "badak" helps me through lots if things, terutama di dunia kerja. 

Bertahun-tahun saya terbiasa ngga minta tolong orang untuk hal kecil maupun hal besar. Saya punya keyakinan: lebih baik capek ngerjain sesuatu, apapun hasilnya, tapi itu usaha kita, daripada nyerahin tanggung jawab ke orang, hasilnya ngga sesuai, dan kita ngga mungkin nyalahin orang lain. Saya juga percaya bahwa nyalahin orang lain untuk sesuatu yang kita rasa ngga sesuai itu hal yang jelek. Dan salah satu cara saya untuk ngehindarin itu semua adalah dengan ngerjain segala sesuatunya serba sendiri. 

Semua baik-baik aja sampai akhirnya tibalah momen persiapan pernikahan ini. Saya dihadapkan sama situasi di mana banyak orang yang mau ngga mau dilibatkan. Apalagi Insya Allah pernikahan kami nanti pakai adat Jawa. Pastinya ada prosesi yang melibatkan ini itu. Apalagi di budaya kita ini, acara pernikahan cenderung "nurut" kemauan orang tua. Alhasil, pihak yang dilibatkan banyak banget. Di satu sisi, saya bersyukur keluarga dan temen banyak banget yang mau ngebantu. Tapi di sisi lain.....

A part of me that barely let anybody do anything for me couldn't let go of the thought that I have to trust OTHER PEOPLE to make ONE OF THE MOST IMPORTANT DAY OF MY LIFE goes well

Bagi saya, di satu titik, persiapan pernikahan kami jadi agak "menakutkan". Karena saya harus mempercayakan hal-hal krusial ke banyak orang. Bukan saya ngga percaya mereka. Saya kadang takut ada something came up and they can't handle it the way I do. Karena jujur aja, saya ini orangnya galak (duh!). Setiap ada halangan dan rintangan (...and I'm occasionally hyperbolic), saya cenderung berhasil ngelewatin dan nyelesaiin masalah apapun itu sendiri, dan saya rasa sifat saya yang keras sangat membantu. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dan ngerjain semuanya untuk saya, saya khawatir. Saya ngga mau mereka repot untuk sayaSaya ngga mau juga keluarga dan temen-temen yang udah ngebantu saya menghadapi kesulitan yang mungkin muncul dalam rangka "mensukseskan" acara pernikahan kami nanti.

I know this might sound silly to most people, but I know there are a few people out there who feels the same way.

But don't get me wrong! I do love to help other people. I love having responsibilities. However, it's weird to have other people do things FOR ME.

Bahkan selama hubungan saya dan Aul, saya masih kesulitan minta tolong sama Aul. Saya ngga mau nyusahin dan bikin repot Aul. Walaupun lambat laun saya belajar bahwa minta tolong itu ngga salah, percaya bahwa orang bisa dimintain tanggung jawab dan make everything okay itu ngga susah. Saya cuma harus banyak belajar. Apalagi ngga lama lagi saya bakal berbagi hidup sama Aul. Dan saya juga sadar, saya ngga mungkin selamanya menghindar dari minta tolong orang. 

Saya sadar, minta tolong sama orang ngga menandakan kita itu lemah. 
Minta tolong bukan berarti kita ngga mampu
Minta tolong bukan berarti kita ngga mau

Saya mungkin kelihatan santai aja selama nyiapin pernikahan ini. Tapi sebenernya, otak dan perasaan saya ngga berhenti muter-muter sampai pusing sendiri. Hehehe

Mungkin segitu aja sesi sharing dari saya kali ini. Writing does make you feel better, right? :)

I'm sorry for the long post. I just need to get this out of my head and I hope this post could inspire and help whoever read this in any way. 

Dan yang paling penting, saya mau berterima kasih sama semua pihak yang sejauh ini udah ngebantu saya dan Aul dalam persiapan pernikahan kami. Millions of thank yous won't be enough

See y'all in my next post!

1 comment:

  1. hehehe that's true, kadang ngerasa apa2 harus bisa dhandle sendiri, kelihatan santai padahal otak muter terus,, semangat kak buat wedding prepnya

    ReplyDelete